Pages

wahabi&muhammadiyah sejalan?

MENELUSURI SEJARAH PENAMAAN WAHHABISME, WAHABI, WAHHABIYAH : Apakah Wahabi itu Muhammadiyyah?
Penulis : Abu Mujahid

Kata Wahhabisme
Wahhabisme adalah paham Wahhabi atau sering juga dilafalkan dengan Wahabi.
Istilah yang terakhir ini berasal dari kata Wahhabiyah atau Wahhabiyun atau juga Wahhabiyyun (dengan dua huruf y) yang masing-masing bermakna sama.
Istilah tersebut adalah bentuk penisbatan atau penyandaran yang dikenal dalam bahasa Arab. Penisbatan yang dimaksud dapat menunjukkan arti keberasalan sesuatu secara geneologis atau geografis dan—dalam keadaan-keadaan tertentu—dapat juga menunjukkan arti kepengikutan secara personal atau komunal.
Asal istilah Wahhabiyah atau Wahhabiyun adalah kata wahhab. Kata ini adalah salah satu bentuk perubahan kata kerja bahasa Arab, yakni wahaba-yahabu yang berarti memberikan atau menghibahkan[1]. Bentuk perubahan kata yang menunjukkan arti subjek dari kata kerja ini adalah wahib yang berarti pemberi atau yang memberi.
Dalam morfologi bahasa Arab, bentuk subjek wahib ini dapat diubah lagi ke dalam bentuk mubalaghoh. Adapun bentuk yang dimaksud, adalah satu bentuk perubahan subjek yang mengandung—sekaligus juga menyatakan—sifat melebih-lebihkan dan juga sifat kontinyu pada diri subjek tersebut, yakni wahhab yang berarti pemberi yang sering atau banyak memberi.
Allah Dia Al-Wahhab
Akan tetapi, kata wahhab bukan sekedar berarti pemberi yang suka atau banyak memberi. Lebih dari makna itu, wahhab dikenal juga sebagai salah satu dari sekian banyak nama-nama Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, Allah memiliki banyak nama dan sifat yang tidak terbatas oleh hitungan mana pun yang dikenal.
Nama Allah Al-Wahhab adalah berarti Dia sebagai Yang Maha Memberi. Arti nama ini adalah bahwa Dia sebagai sumber utama yang sering atau banyak memberi kepada makhluk-makhluk ciptaanNya di alam semesta ini.
Seperti dalam surat Ali Imron ayat ke-8.
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami. Karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sungguh, hanya Engkau yang Maha Memberi
Atau seperti dalam surat Shod ayat ke-9
أَمْ عِندَهُمْ خَزَائِنُ رَحْمَةِ رَبِّكَ الْعَزِيزِ الْوَهَّابِ
Atau apakah mereka itu mempunyai perbendaharaan rahmat Tuhanmu Yang Maha Perkasa lagi Maha Memberi?
Juga seperti dalam surat Shod ayat ke-35.
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكاً لَّا يَنبَغِي لِأَحَدٍ مِّنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
Ia berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Memberi”
Dari sekian banyak nama-nama Allah yang telah diketahui dari sumber-sumber tersebut, ada banyak nama-namaNya yang terbentuk seperti bentuk mubalaghoh pada nama Al-Wahhab.
Sebagai contoh, ada Ar-Rozzaq yang berarti maha pemberi rizqi. Semula, bentuk ini berasal dari Ar-Roziq yang berarti pemberi rizqi. Seperti dalam surat Adz-Dzariyat ayat ke-58.
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Sungguh, Dialah Allah yang Maha Pemberi rezki lagi memiliki Kekuatan sangat Kokoh
Ada Al-Ghoffar yang berarti maha pengampun. Semula adalah Al-Ghofir yang berarti pengampun. Ini seperti dalam surat Az-Zumar ayat ke-5.
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى أَلَا هُوَ الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ
Dia, Allah, menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar. Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam serta menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing berjalan menurut waktu yang telah ditentukan. Ingatlah Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Begitu pula Al-Qohhar yang berarti Maha Kuasa. Semula berasal dari Al-Qohir yang berarti penguasa. Ini dapat ditemukan dalam Al-Qur’an surat Ibrohim ayat ke-48.
يَوْمَ تُبَدَّلُ الأَرْضُ غَيْرَ الأَرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ وَبَرَزُواْ للّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
Pada waktu bumi digantikan bumi yang lain. Begitu pula langit. Meraka semua, di padang Mahsyar, berkumpul. Mereka menghadap Allah yang Maha Esa lagi Maha Kuasa
Gerakan Muhammad bin Abdil Wahhab
Namun dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, kata Wahhabi yang dikenal sekarang ini diartikan sebagai satu sebutan bagi paham dan gerakan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab (1703—1787) yang sangat keras menentang keyakinan atau praktek yang bersifat khurafat dan syirik, seperti ziarah ke tempat-tempat keramat, meminta perantaraan orang-orang yang dianggap wali untuk berhubungan dengan Allah, meminta syafaat kepada ulama, dan seterusnya. Para pengikutnya disebut dengan muwahhidun yang berarti para penganut tauhid.[2]
Demikian pula di dalam Ensiklopedi Islam, kata Wahhabi diartikan sebagai istilah atau julukan yang sebenarnya diberikan oleh para musuh gerakan pemurnian agama yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdil Wahhab. Para pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab sendiri lebih menyebut diri mereka dengan sebutan al-muslimun atau al-muwahhidun (pendukung ajaran yang memurnikan ketauhidan Allah Subhaanahu wa Ta’ala).[3]
Selain dua sebutan ini, para pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab juga menyebut diri mereka sebagai pengikut mazhab Hanbali atau ahlu as-salaf.
Sepanjang sejarah, murid-muridnya dan orang-orang yang menerima dakwahnya serta menjalankan praktek-praktek yang didakwahkannya dijuluki dengan kaum Wahhabi. Sampai pada tingkat tertentu, tidak tertutup kemungkinan pula segala macam praktek beragama yang dilakukan oleh pemeluk Islam dan kebetulan mirip dengan praktek-praktek beragama yang dijalankan oleh kaum Wahhabi disebut pula dengan ajaran Wahhabi.
Karena itu, berkaitan dengan tulisan ini, istilah Wahhabi jelas memiliki pengertian lain yang justru tidak berhubungan sama sekali dengan semua pengertian secara bahasa yang telah lewat.
Wahhabiyah Bukan Muhammadiyah
Menyinggung ketidaksenangan para pengikut Muhammad bin Abdil Wahhab, dapat dikatakan bahwa penamaan seperti itu berkonsekwensi penting bahwa dakwah dan praktek yang mereka jalani selama ini adalah semata-mata berasal dari pemikiran Muhammad bin Abdil Wahhab, seakan-akan mereka adalah para pemujanya.[4] Tidak berbeda dari ajaran-ajaran manusia biasa yang menjadi paham-paham sempalan dalam sejarah Islam.
Akan tetapi, semua bentuk penyandaran kepada seseorang selalu saja dibentuk dari kata dasar yang disandarkan. Termasuk pula dalam bahasa Arab.
Contoh yang dapat diambil dari penyandaran yang bersifat personal adalah Jahmiyah atau Jahmi. Istilah ini diambil dari kata dasar Jahm, karena Jahm bin Shofwan[5] adalah orang yang mengemukakan satu pemahaman yang kelak dikenal sebagai paham Jahmiyah.[6] Para pengikutnya dikenal sebagai orang-orang Jahmi.
Contoh lain adalah Karromiyah. Istilah ini diambil dari kata dasar Karrom, karena Muhammad bin Karrom[7] adalah orang yang mengemukakan pemahaman yang kelak dikenal sebagai paham Karromiyah. Para pengikutnya disebut sebagai kaum Karromi. Semua penyandaran yang bersifat personal berpola seperti ini.
Demikian pula pada penyandaran bersifat non-personal, penyandaran seperti ini juga tidak berbeda dengan penyandaran bersifat personal.
Contoh yang dapat diambil dari penyandaran kepada sesuatu non-personal adalah Qodariyah atau Qodari.[8] Istilah ini diambil dari kata dasar Qodar yang berarti takdir dan sudah jelas bukan bersifat personal.
Juga dapat diambil contoh Jabbariyah atau Jabbari.[9] Istilah ini diambil dari kata dasar Jabr yang berarti paksaan dan tentu juga tidak bersifat personal.
Wahhabisme atau Wahhabi sebagai bentuk peng-Indonesia-an dari Wahhabiyah memiliki kata dasar wahhab. Adapun kata ini, sebagaimana yang telah lalu, adalah penunjuk subjek atau pelaku—kata ini bersifat personal.
Dalam rangkaian nama Muhammad bin Abdil Wahhab, sebagai objek penyandaran kata, kata wahhab ditemukan pada rangkaian nama orangtuanya. Bukan pada nama sosok penyandaran itu sendiri, yakni Muhammad.
Dalam bahasa Arab, bentuk penyandaran, sebagaimana biasa, mengambil kata dasar dari sosok personal yang disandarkan. Oleh karena itu, istilah Wahhabiyah atau Wahhabi semestinya adalah Muhammadiyah atau Muhammadi.
Mungkin juga bila disandarkan kepada orangtuanya yang bernama Abdil Wahhab, sebagaimana pada bentukan istilah Karromiyah, maka kata yang ada bukan Wahhabisme tetapi AbdulWahhabisme atau AbdulWahhabi. Ternyata, setelah dibandingkan dan diterapkan pada istilah Wahhabi, pola bentukan kata yang lazim tidak berlaku.

[1] Dari kata ini, kita mengenal kata “hibah” dalam bahasa Indonesia yang berarti “pemberian (bersifat sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.” Lihat Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas. 2008, halaman 520.
[2] Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Nasional Indonesia. Ensiklopedi Nasional Indonesia: Jilid 17. Jakarta: Cipta Adi Pustaka. 1991, halaman 212.
[3] Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam: Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. 1998, halaman 156.
[4] Robert Lacey. Kerajaan Petrodolar. Jakarta: Pustaka Jaya. 1986, halaman 74.
[5] Jahm bin Shofwan adalah Abul Muharriz As-Samarkandi. Ia dikenal sebagai seorang yang cerdas dan jago berdebat. Dalam masalah aqidah, ia mengingkari sifat-sifat Allah dan mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan perkataan Allah. Baginya, Allah ada di mana-mana. Iman, menurutnya, sudah cukup berupa keyakinan di dalam hati. Iman tidak memerlukan pembuktian lewat kata dan praktek ibadah. Lihat biografi ke-8 dalam Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi. Siyar A’lam An-Nubala’: juz IX. Beirut: Muassasah Ar-Risalah. 1993. Untuk uraian ringkas tentang keyakinannya, lihat Muhammad Kholil Harros. Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyah li Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sho’dah: Maktabah Ibnu Taimiyah. 2004, halaman 21.
[6] Paham ini termasuk paham sempalan yang muncul dalam sejarah Islam. Meskipun secara utuh paham ini dapat dikatakan tidak ada lagi, tetapi pokok-pokok pemikiran Jahm bin Shofwan masih ada sampai saat ini.
[7] Ia adalah Muhammad bin Karrom As-Sijistani. Memiliki banyak pengikut, yang kebanyakan berasal dari wilayah Khurasan. Pernah dipenjara di penjara Naisabur selama delapan tahun. Ia meninggal di tanah Baitul Maqdis, Palestina, pada tahun 255 Hijriah. Menurutnya, iman itu cukup dengan ucapan di mulut tanpa perlu adanya keyakinan di dalam hati dan amalan-amalan anggota badan. Selain itu, Allah memiliki sifat-sifat yang hakikat sifat-sifat tersebut sama dengan sifat-sifat manusia. Seorang nabi, menurutnya pula, boleh melakukan dosa-dosa besar kecuali berbohong. Lihat biografi ke-146 Muhammad bin Ahmad bin Utsman. Siyar A’lam An-Nubala’: Juz XVIII. Beirut: Muassasah Ar-Risalah. 1993. Untuk uraian ringkas tentang keyakinannya, lihat Muhammad Kholil Harros, halaman 23.
[8] Dikatakan Qodariyah atau Qodari, karena paham ini dikenal sebagai paham yang menolak takdir Allah. Semua yang dilakukan oleh manusia adalah hasil usaha manusia itu sendiri. Allah sebagai penguasa alam semesta tidak ikut campur-tangan sama sekali.
[9] Paham ini muncul setelah kemunculan paham Qodariyah. Bertolak-belakang dengan Qodariyah, Jabbariyah justru menganggap bahwa semua yang terjadi di alam semesta ini adalah perbuatan Allah. Manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan makhluk-makhluk yang lain tidak memiliki kehendak sama sekali. Mereka, makhluk-makhluk itu, dipaksa untuk berbuat oleh Allah; makhluk seperti sehelai bulu yang diterbangkan angin ke mana pun bertiup. Baik Qodariyah maupun Jabbariyah, masing-masing tergolong sebagai paham-paham sempalan dalam Islam.






DAFTAR PUSTAKA
Hana.Abu.2010.Virus Wahabi(Mitos Negatif Bagi Salafi).bandung:Too Bagus Publishing
http://Dokter Pengobatan Islam.blogspot.com
http://kaahil.wordpress.com

 
Beezeezy created and Copyright 2011. by Templateezy