Pages

Hukum Isbal

Masalah isbal memang sering terjadi perdebatan. Ada yang pro dan ada yang kontra, ada yang bilang itu adalah hal yang dhalalah (sesat) ada juga yang bilang mubah. Mana yang benar?


Untuk menelaah hal itu, kita harus memiliki landasan, sebuah pijakan yang kuat. Dan untuk memahami hal itu, maka tentu saja kita berlandaskan pada al-Qur’an, al-Hadits, dan atsar dari para shahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, serta kata-kata para ulama. Tetapi kali ini pembahasan lebih ditekankan dan berputar pada Hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam serta perkataan para salafushshalih.

Beberapa Hadits Tentang Larangan Isbal

Yang pertama,



Apa saja yang melebihi dua mata kaki dari kain sarung, maka tempatnya di neraka

(HR. Bukhari no. 5787)





Yang kedua,



Allah tidak melihat pada hari kiamat nanti kepada orang yang menjulurkan kainnya (hingga melewati mata kaki) dengan sombong.

(HR. Bukhari no. 5788 dan Muslim no. 2087)





Yang ketiga,



Sesungguhnya orang yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti

(HR. Muslim no. 2085, dimuat pula oleh An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad)





Yang keempat,



Ketika seorang laki-laki memanjangkan kainnya dengan sombong, dia akan ditenggelamkan dengannya dibumi dan menjerit-jerit sampai hari kiamat

(HR Bukhari no. 3485 dan Muslim no. 2088, diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad)





Yang kelima,



Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.” Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku salah seorang yang celaka, kainku turun, sehingga aku selalu memeganginya.” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena kesombongan.”



(HR. Bukhari no. 3665, diriwayatkan pula oleh An-Nasa’i dan Imam Ahmad)





Yang keenam,



Dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku melewati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan kain sarungku menjulur ke bawah. Beiau bersabda: “Wahai Abdullah, naikan kain sarungmu.” Maka aku pun menaikannya. Lalu Beliau bersabda lagi: “Tambahkan.” Maka aku naikkan lagi, dan aku senantiasa menjaganya setelah itu. Ada sebagian orang yang bertanya: “Sampai mana batasan?” Beliau bersabda: “Setengah betis.”

(HR. Muslim no. 2086, dimuat pula oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra)





Yang ketujuh,



Tempatnya Izar (kain sarung) adalah sampai setengah betis, jika kamu tidak mau maka dibawahnya, jika kamu tidak mau maka di bawah betis dan tidak ada hak bagi kain itu atas kedua mata kaki

(HR. Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah. Dikatakan hasan shahih oleh Tirmidzi)





Dan masih banyak lagi hadits yang semacam ini.

Perkataan Para Ulama

Para ulama terbagi menjadi tiga kelompok dalam memaknai hadits-hadits di atas. Ada yang mengharamkan isbal secara mutlak, baik dengan sombong atau tidak. Ada yang memakruhkan. Ada pula yang membolehkan jika tanpa kesombongan. Ada pun jika dengan sombong, semua mengharamkan tanpa perbedaan pendapat.



Dan jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan empat madzhab tidak mengharamkannya

(Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid)





1. Kelompok yang membolehkan

Kelompok ini mengatakan bahwa dalil-dalil larangan isbal adalah global (muthlaq), sedangkan dalil global harus dibatasi oleh dalil yang spesifik (muqayyad). Jadi, secara global isbal memang dilarang yaitu haram, tetapi ada sebab (‘illat) yang men-taqyid­-nya yaitu karena sombong (khuyala’). Kaidahnya adalah Hamlul muthlaq ilal muqayyad (dalil yang global mesti dibawa/dipahami kepada dalil yang mengikatnya/mengkhususkannya) .

Imam Abu Hanifah

Dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih berkata:



Berkata pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.”

(Imam Ibnu Muflih, Al Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi’ Al Islam)





Imam Ahmad bin Hanbal



Dalam satu riwayat Hanbal berkata: “Menjulurnya kain sarung, jika tidak dimaksudkan untuk sombong, maka tidak mengapa. Demikian ini merupakan zhahir perkataan lebih dari satu sahabat-sahabatnya (Imam Ahmad) rahimahumullah.”

(Al Adab Asy Syar’iyyah)





Disebutkan dalam riwayat lain bahwa Imam Ahmad juga mengharamkan (Al Adab Asy Syar’iyyah)

Sementara itu, dalam riwayat lain menyebutkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal berkata,



Menjulurkan kain sarung, dan memanjangkan selendang (sorban) di dalam shalat, jika tidak ada maksud sombong, maka tidak mengapa (selama tidak menyerupai wanita), jika demikian maka itu berbuatan keji.

(Syarhul ‘Umdah, karya Ibnu Taimiyah. Diriwayatkan juga oleh Imam al-Bahuti dalam Kasysyaf al-Qina)





Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah



Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Ibnu Taimiyah) memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan makruh, dan tidak pula mengingkarinya.

(Al Adab Asy Syar’iyyah)





Ada pun jika memakainya tidak dengan cara sombong, tetapi karena ada sebab atau hajat (kebutuhan), atau tidak bermaksud sombong dan menghias dengan cara memanjangkan pakaian, dan tidak pula selain itu, maka itu tidak apa-apa. Ini juga pendapat yang dipilih oleh Al Qadhi dan selainnya

(Syarhul ‘Umdah)





2. Kelompok yang Memakruhkan

Kelompok ini adalah kelompok mayoritas, mereka menggunakan kaidah yang sama dengan kelompok yang membolehkan, yakni larangan isbal mesti dibatasi oleh khuyala (sombong). Hanya saja kelompok ini tidak mengatakan boleh jika tanpa sombong, mereka menilainya sebagai makruh tanzih, tapi tidak pula sampai haram.

Para fuqaha Islam menyebutkan bahwa hukum makruh ada dua macam, yakni Makruh Tanzih dan Makruh Tahrim. Makruh Tanzih adalah makruh ynag mendekati mubah (boleh). Makruh Tahrim adalah makruh yang medekati haram.

Imam Asy Syafi’i dan Imam An Nawawi



Tidak boleh isbal di bawah mata kaki jika sombong, jika tidak sombong maka makruh (dibenci). Secara zhahir hadits-hadits yang ada memiliki pembatasan (taqyid) jika menjulurkan dengan sombong, itu menunjukkan bahwa pengharaman hanya khusus bagi yang sombong

(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim karya Imam An Nawawi)





Imam Nawawi juga sempat berkata,



Isbal dibawah mata kaki dengan sombong (haram hukumnya, pen), jika tidak sombong maka makruh. Demikian itu merupakan pendapat Asy Syafi’i tentang perbedaan antara menjulurkan pakaian dengan sombong dan tidak dengan sombong. Dia berkata: Disukai memakai kain sarung sampai setengah betis, dan boleh saja tanpa dimakruhkan jika dibawah betis sampai mata kaki, sedangkan di bawah mata kaki adalah dilarang dengan pelarangan haram jika karena sombong, jika tidak sombong maka itu tanzih. Karena hadits-hadits yang ada yang menyebutkan dosa besar bagi pelaku isbal adalah hadits mutlak (umum), maka wajib mentaqyidkan (mengkhususkan/membatasinya) hadits itu adalah karena isbal yang dimaksud jika disertai khuyala (sombong).

(Diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala)





Bahkan dalam Riyadhusshalihin Imam Nawawi sengaja membuat bab yang berjudul “Bab Sifat Panjangnya Gamis, Kain Sarung, dan Ujung Sorban, dan haramnya isbal (memanjangkan) hal tersebut karena sombong, dan makruh jika tidak sombong”, yaitu bab ke-119.

Imam Ibnu Abdil Barr



Bisa dipahami bahwa menjulurkan pakaian bukan karena sombong tidaklah termasuk dalam ancaman hadits tersebut, hanya saja memang menjulurkan gamis dan pakaian lainnya, adalah tercela di segala keadaan

(dikutip oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala)





Imam Ibnu Qudamah



Dimakruhkan isbal (memanjangkan) gamis (baju kurung), kain sarung, dan celana panjang, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan menaikannya. Tetapi jika isbal dengan sombong maka haram

(Imam Ibnu Qudamah dalam Al Mughni, Al Fashlu Ats Tsalits Maa Yakrahu fi Ash Shalah)





Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi

Beliau berkata ketika menjelaskan makna hadits, “tidak ada hak bagi kain terhadap dua mata kaki”:



Yaitu kedua mata kaki tidak boleh tertutup dengan kain, dan zahirnya kalimat ini merupakan pembatasan, jika melakukannya dengan tidak sombong. Ya, jika sampai lebih bawah dari tempatnya (mata kaki) dengan sombong maka perintah menaikannya lebih keras, dan jika tidak dengan sombong maka perintahnya lebih ringan

(As-Sindi, dalam Syarh Sunan An Nasa’i, Kitab Az Zinah Bab Maudhi’ al Izar)

Isbal-nya kain seorang laki-laki di bawah mata kaki, jika dia tidak sombong, maka hukumnya makruh tanzih...

(Fatawa Al-Hindiyah)





Memanjangkan pakain pada shalat hingga melebihi mata kaki, bahkan menyentuh tanah adalah makruh menurut mayoritas ulama. Tersebut dalam Al Mausu’ah:



Maka, menjulurkan pakaian dalam shalat –dengan makna dijulurkan begitu saja tanpa dipakai- adalah makruh menurut mayoritas ahli fiqih secara mutlak, sama saja baik yang dengan sombong atau tidak



(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah)





3. Kelompok Ulama yang Mengharamkan

Kelompok ini berpendapat bahwa isbal adalah haram baik dengan sombong atau tidak, dan dengan sombong keharamannya lebih kuat dengan ancaman neraka, jika tidak sombong maka tetap haram dan Allah Ta’ala tidak mau melihat di akhirat nanti kepada pelakunya (musbil). Kelompok ini memahaminya sesuai zahirnya hadits.

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani



Kesimpulannya, isbal itu melazimkan terjadinya menjulurnya pakaian, dan menjulurkan pakaian melazimkan terjadinya kesombongan, walau pun pemakainya tidak bermaksud sombong. Hal ini dikuatkan oleh riwayat Ahmad bin Mani’ dari jalur lain Ibnu Umar yang dia marfu’kan: “Jauhilah oleh kalian menjulurkan kain sarung, karena sesungguhnya menjulurkan kain sarung merupakan kesombongan (al makhilah).” Ath Thabarani meriwayatkan dari Abu Umamah, “Ketika kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kami berjumpa dengan Amru bin Zurarah al Anshari yang mengenakan mantel secara isbal, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengambil bagian tepi pakaiannya merendahkan dirinya kepada Allah, lalu berdoa: “Ya Allah hambaMu, anak hambaMu, anak hambaMu yang perempuan. (bisa juga bermakna “Demi Allah“), sampai akhirnya Amru mendengarkan itu, lalu dia berkata: “Ya Rasulullah sesungguhnya aku merapatkan kedua betisku (maksudnya jalannya tidak dibuat-buat, pen).” Maka nabi bersabda: “Wahau Amru, sesungguhnya Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, wahai Amru sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang musbil.

(Ibnu Hajar Al-Asqalani)





Ibnul ‘Arabi



Tidak boleh bagi seorang laki-laki membiarkan pakaiannya hingga mata kakinya lalu berkata: “Saya menjulurkannya dengan tidak sombong.” Karena secara lafaz, sesungguhnya larangan tersebut telah mencukupi, dan tidak boleh juga lafaz yang telah memadai itu ada yang menyelisihinya secara hukum, lalu berkata: “Tidak ada perintahnya,” karena ‘illat (alasannya) itu tidak ada. Sesungguhnya itu adalah klaim yang tidak benar, bahkan memanjangkan ujung pakaian justru itu menunjukkan kesombongan sendiri.

(Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, No hadits. 5354. Lihat juga Nailul Authar karya Imam Asy Syaukani)





Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Banyak hadits-hadits yang semakna dengan ini, yang menunjukkan haramnya isbal secara mutlak, walaupun pemakainya mengira bahwa dia tidak bermaksud untuk sombong, karena hal itu menjadi sarana menuju kepada kesombongan, selain memang hal itu merupakan israf (berlebihan), dapat mengantarkan pakaian kepada najis dan kotoran. Ada pun jika memakainya dengan maksud sombong perkaranya lebih berat lagi dan dosanya lebih besar.

(al-Buhuts al-Islamiyah)





Bukan hanya mereka, Imam Adz Dzahabi (bermadzhab Syafi’iyyah) dan Imam Al Qarrafi (bermadzhab Malikiyah) juga mengharamkan.

Untuk zaman ini, para ulama pun berbeda pendapat. Syaikh Al Qaradhawy tidak mengharamkan isbal kecuali dengan sombong, begitu pula umumnya para ulama Mesir, Pakistan, India, dan lain-lain. Sementara yang mengharamkan seperti Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, para ulama Lajnah Da’imah, sebagian ulama Pakistan, Saudi Arabia, Yaman, dan lain-lain.

Bahkan Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin menyebutkan isbal dalam shalat adalah maksiat dan shalatnya tidak sah. Katanya:



Ada pun hal yang diharamkan menurut sifatnya adalah seperti pakaian yang menjulur, dia adalah seorang yang memakai pakaian katun yang mubah, tetapi dia menurunkannya sampai melewati dua mata kaki. Maka kami katakan: ini adalah diharamkan menurut sifatnya, dan tidak sah shalatnya, karena itu tidak diizinkan, dan termasuk maksiat dengan pakaiannya itu, dan secara syar’i hukumnya adalah batal, dan barang siapa yang beramal yang bukan termasuk perintah kami maka itu tertolak

(Syarhul Mumti’ karya Muhammad bin Shalih al-Utsaimin)





Silahkan kita menjalankan apa yang menjadi keyakinan adalah benar, tanpa ada sikap pengingkaran terhadap yang lain. Semoga Allah Ta’ala memberikan pahala dan dinilai sebagai upaya taqarrub bagi siapa saja yang menaikkan pakaiannya di atas mata kaki atau setengah betis, tanpa harus diiringi sikap merasa paling benar, keras, dan justru sombong karena merasa sudah menjalankan sunah.

Ada akhlak para salafus shalih dan para imam yang harus kita renungi bersama, sebagai berikut:



Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya

(Sufyan ats-Tsauri)





Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.

(Imam Nawawi, dalam Syarh Muslim)





Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama

(Imam As Suyuthi, dalam Al Asybah wa An Nazhair)





Demikian risalah yang dapat kami sampaikan, dan semoga dapat membuat pemahaman kita akan sunnah dan khilafiyah di antara kaum muslimin semakin bertambah.

Wallahu a’lam.

(Farid Nu'man Hasan, islamedia.web.id)

 
Beezeezy created and Copyright 2011. by Templateezy